BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam sebagai agama
terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala
aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju
terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai
khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan
yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis
untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali
untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu
mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan
dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan
sesamanya.
Agama islam telah
mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang
hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah
dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti
sudah mengetahui bahwa ada salah satu akad yaitu ji’alah.
Akad ji’alah
identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti
dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat
hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan
kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada
seseorang untuk dijalankan.
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam
lagi membahas tentang apa itu sebenarnya akad ji’alah yang telah ada sejak
zaman dahulu ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
definisi dari akad ji’alah?
2.
Bagaimana
Landasan hukum akad ji’alah?
3.
Apa
rukun dan syarat ji’alah?
4.
Apa
yang dimakasud dengan shigah akad ji’alah?
5.
Bagaimana
terjadi pembatalan akad ji’alah?
6.
Bagaimana
hukum perselisihan pemilik dengan amil?
7.
Apa
Hikmah dari ji’alah?
BAB II
JI’ALAH
A.
Definisi Akad Ji’alah
Akad ji’alah,
ju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu
yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan
perbuatan tertentu, atau juga diartikan
sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan
tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan
janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah
akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara’, akad ji’alah
adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu
atau tidak tertentu yang sulit diketahui.[1]
Ji’alah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang mesti diartikan
sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun
jaminan itu tidak dinyatakan, ji’alah dapat diartikan pula upah mencari
benda-benda hilang.[2]
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada
orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan
hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur,
membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian
imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang
dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.[3]
Ulama Malikiyah
mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga
dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa
mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik
saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur
untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk
saya, maka dia akan mendapatkan sekian.[4]
Di antara
contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi
orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang
diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh
panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat
menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk
didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter
yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing
anaknya menghapal Al-Qur’an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini
dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat
atau hilang dan budak yang lari atau kabur.[5]
B.
Landasan Hukum Akad Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah,
akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalanya terdapat unsur penipuan
(gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini
diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya
kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi,
mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada orang
yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga
hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh
dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.[6]
Jika dia
mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah
disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya
perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua
hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam
jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa
yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di
daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab,
untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada
pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi
pemiliknya untuk menjaga hartanya.
Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah
dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama
saudara-saudaranya.
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
“Mereka
menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya
akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf:
72).
Juga
berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas
pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam
Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah
sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian
tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun
bertanya, “apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat
menjawab, “kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya kecuali jika
kalian memberi kami upah.” [7]
Maka mereka
menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca surah al-fatihah dan
mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala suku itu pun
sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para
sahabat. Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami
tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal
tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah
kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan
kepadaku satu bagian.”[8]
Terdapat dalil aqli
(rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji’alah, yaitu kebutuhan
masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini, seperti untuk
mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan
yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah
dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah
tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah
sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan
kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain
itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah)
berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan, dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.[9]
Dari pemaparan
landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa poin
penting, yaitu: [10]
1.
Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak
diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan
dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di
tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja brhak mendapatkan upah atas
pekerjaan.
2.
Dalam
ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang
berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah
satu dinar, “maka orang yang berhasil
menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah
sebulan atau setahun.
3.
Jika
pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara
mereka.
4.
Ja’alah
tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata,
“Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan
ja’alah (hadiah) sekian.”
5.
Barangsiapa
menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan
dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah
(hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan
barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela
sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia
berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah
sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.
Jika
seseorang berkata, “Barangsiapa makan
dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ji’alah (hadiah),
“maka ji’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata,
“Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia
berhak atas ji’alah,” maka ji’alah tidak sah.
7.
Jika
pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah,
maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh
bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja
dengan disuruh bersumpah.
C.
Rukun dan Syarat Ji’alah
Ada beberapa
rukun dan syarat ji’alah yaitu: [11]
1.
Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti izin
kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya.
2.
Orang
yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain
yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan.
3.
Pekerjaan,
yaitu mencari barang yang hilang.
4.
Upah,
disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang tertentu. Kalau yang
kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang mendapat barang/bendaku,
akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu,
sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang
dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).
D.
Sighah Akad
Ji’alah
Akad ji’alah
adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga akad ji’alah
tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi upah (ja’il)
dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya. Shigah
ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan
imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu
memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah
tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang
mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal
itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja dengan sukarela; dan pada
kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja’il
harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi
selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan
sesuatu itu berhak menerima upah tersebut.[12]
Juga tidak
disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana),
sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad
ji’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ji’alah diperbolehkan
dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il
juga dibolehkan untuk memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi
orang lain imbalan yang berbeda.[13]
E.
Pembatalan Ji’alah
Tiap-tiap
keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang
membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat upah walaupun dia
sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah,
maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah
dikerjakan.[14]
F.
Hukum Perselisihan Pemilik dan ‘Amil
Jika terjadi
perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan amil, dalam masalah
asal persyaratan upah, misalkan salah satunya mengingkari persyaratan tersebut,
maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti jika amil
berkata, “kamu mensyratkan memberi upah pada saya,” tapi sipemilik
mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena
asalnya tidak ada persyaratan upah.
Dan jika mereka
berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil yang
hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang
mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekrjaan (‘amil)
tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak
ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya.[15]
Demikian juga,
orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang
dilakukan amil. Misalkan si pemilik berkata, “kamu bukan yang
mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali
sendiri.” Maka si pemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada
pengembalian.
Dan jika mereka
berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat yang
telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan
Syafi’iyah berpendapan bahawa keduanya disumpah dan akad ji’alahnya
dibatalkan, lalu si pemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku.
Sedangkan ulama
Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik
dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga
karena ucapan yang dibenarkan adalah
ucapan si pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam
jumlahnya. Selain itu, karena si pemilik mengingkari yang diaku oleh amil yang
melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang
diaku oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual
dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga.[16]
G.
Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan
kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu
mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang
hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an.
Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan
dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta
sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah,
akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah
sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu
menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya,
seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.[17]
BAB III
ANALISIS
Berbicara tentang akad ji’alah, ji’alah adalah salah satu dari kebiasaan umat manusia
pada zaman ini, dan kita semua telah mengetahui bahwa ji’alah telah ada
sejak zaman dahulu. Ji’alah adalah jenis akad untuk suatu manfaat materi yang
diduga kuat dapat diperoleh. Ji’alah diperbolehkan karena lantaran diperlukan.
Namun yang perlu
diperhatikan di sini adalah bahwa pelaksanaan ji’alah termasuk bermacam-macam
sayembara dan pertandingan seperti pada zaman sekarang ini haruslah dilihat dan
dilaksanakan dalam suatu kegiatan yang bebas dari unsur penipuan, penganiayaan,
dan saling merugikan. Didalam pelaksanaan ji’alah. Penekanan pemberian
imbalan haruslah didasarkan atas prestasi dan usaha yang jauh dari unsur-unsur
yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Ji’alah adalah akad
yang diperbolehkan untuk membatalkannya, yaitu kedu pihak boleh untuk
membatalkannya, adalah menjadi hak bagi si pelaksana ji’alah untuk membatalkan,
sebelum ia menyelesaikan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah
itu, jika ia merelakannya amaka haknya gugur. Adapun bagi yang menyuruh tidak
berhak membatalkan jika si pelaksana sudah menyukseskan atau menyelesaikan pekerjanya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada
seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang
diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji’alah
juga dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah
tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak.
Dan berdasarkan landasah hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu
mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat
tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan
oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani,
2011.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafinfo
Persada, 2011.
Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, Jakarta, Kencana,
2012.
Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan
oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, Jakarta PT.
Darul Falah. 2000.
Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya Terbit
Terang, 2005.
[1] Wahbah Az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie,
dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 432.
[2] Hendi Suhendi,
Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja
Grafinfo Persada, 2011), h. 207.
[3] Mardani , Fiqih
Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314.
[4] Wahbah Az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie,
dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit,
h. 432.
[5] Ibid.,
h. 433.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.,
h. 434.
[9] Ibid.
[10] Abu Bakr Jabiz
Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi
Muslim Minhaajul Muslim, (Jakarta: PT. Darul Falah. 2000), h. 526-527.
[11] Saifulloh Al
Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang. 2005), h. 382.
[12] Wahbah Az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie,
dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 434.
[14] Saifulloh Al
Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382.
[15] Wahbah Az-
Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie,
dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 439.
[16] Ibid.
[17] Nur
Azizah, Makalah Ji’alah, http://nurazizahaza.blogspot.com/2013/01/makalah-jialah.html. Di
akses 25 Maret 2014 pukul 13:36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar