Rabu, 08 Januari 2014

Keuangan Publik Islam

Kebijakan Pengeluaran Instrumen Non-zakat Dalam Islam
Oleh: Dian Hariyadi; Habiburrahman; Safrudin

A.    Pendahuluan
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal di mana pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah dikumpulkan. Dengan kebijakan pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi pendapatan kepada masyarakat dan dengan kebijakan ini pula negara bisa menggerakan perekonomian yang ada di masyarakat. Kebijakan pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Keberhasilan negara untuk melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ini karena kebijakan pengeluaran tersebut adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyarakat.[1]
Kebijakan pengeluaran negara tidak pernah lepas dari pengeluaran non-zakat. Pengeluaran non-zakat adalah salah satu instrumen penting dalam suatu negara sebagai fasilitas untuk melancarkan program pengeluaran negara. Pengeluaran non-zakat dalam Islam diartikan tentunya sebagai pengeluaran-pengeluaran yang sesuai dengan tuntutan Islam. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan dan pendidikan.[2]
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas tentang kebijakan pengeluaran non-zakat dalam Islam, pembahasan berupa bagaimana kaidah belanja negara dalam Islam. Di dalam makalah ini juga dibahas bagaimana analisis kebijakan pengeluaran negara sepanjang sejarah dalam Islam dan di masa kontemporer.

B.     Pembahasan
1.    Kaidah Belanja Negara Dalam Islam
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk membiayai belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU Nomor 35 Tahun 2000 Tentang APBN Tahun 2001).[3] 
Dalam konsep ekonomi Islam, belanja negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disyariatkan dalam Al-Qur’an dan as-sunah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut sebagai berikut:[4]
a.       Bahwa timbangan kebijakan pengeluaran dan belanja pemerintahan harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
b.      Menghindari masyaqqah, (al-masyaqqah), menurut arti bahasa adalah at-ta’ab, yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.
c.       Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat skala besar.
d.      Pengorbanan individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
e.       Kaidah “al-giurmu bil gunmi’, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
f.       Kaidah “ma> la> yatimmu al-wa>jibu illa> bihi fahuwa wa>jib”, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa; ”sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam merealisasikan efektivitas dan efisiensi dalam pola pembelanjaan pemerintah dalam Islam sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam, sebagai berikut:[5]
a.       Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b.      Pengeluaran sebagai alat retribusi[6] kekayaan.
c.       Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d.      Penegeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e.       Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar[7].

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut:[8]
a.       Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c.       Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Adapun kaidah syariah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara lebih perinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:[9]
a.       Bahwa kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan  asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pemerintah.
b.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
c.       Kaidah selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaannya, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nas-nas yang sahih seperti pada kasus “al-hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan umum. Ketika Rasulullah mengkhususkan tanah untuk pengembalaan ternak kaum duafa, Rasulullah melarang ternak-ternak milik para agniya atau orang kaya yang mengembala di sana. Bahkan Umar berkata: “Hati-hati jangan sampai ternak Abdurrahman bin Auf mendekati lahan pengembalaan kaum duafa.”
d.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e.       Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib, sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan infrastruktur[10] air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat  berikut sistem pendanaannya. Bentuk belanja seperti ini biasanya melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi. Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka. Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau subsidi dalam bentuk bantuan langsung.[11]

2.      Analisis Kebijakan Pengeluaran Negara Sepanjang Sejarah Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah,, prinsip dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan pemerintahan atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Saat membelanjakan membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:[12]
a.       Kaum miskin dan yang membutuhkan.
b.      Pemeliharaan tentara untuk jihad dan pertahanan.
c.       Pemeliharaan ketertiban dan hukum internal.
d.      Pensiun dan gaji pegawai.
e.       Pendidikan.
f.       Infrastruktur.
g.      Kesejahteraan umum.
Dalam pengalokasian sumber penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran tersebut di atas. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan pengeluaran. Untuk penerimaan dari zakat dan ganimah[13] peruntukannya sudah ditentukan seara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fai[14] pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik lainnya.[15]
Menurut Sakti, dalam Islam, semua jenis pendapatan dimasukan ke dalam bait al-ma>l, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan dan anggaran untuk umum. Adapun anggaran untuk umum berasal dari pendapatan lainnya, seperti pajak dan non-pajak. Didapatkan bahwa Islam lebih terfokus pada kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam pengelolaan agama Islam  pemerintah sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat keduniaan. Berikut ini tabel alokasi pengeluaran dari sumber penerimaan negara:[16]
Alokasi Pengeluaran dari Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan
Pengeluaran
Jenis Regulasi

Zakat
Kebutuhan dasar
Kharaj[17]
Kesejahteraan sosial
Jizyah[18]
Pendidikan dan penelitian
Jenis Sukarela

Usyr[19]
Infrastrukutur (fasilitas publik)
Infak-sedekah
Dakwah dan propaganda Islam
Wakaf
Administrasi negara
Jenis Kondisional

Khums[20]

Pajak

Keuntungan BUMN

Lain-lain


a.       Kebijakan pengeluaran zaman non-zakat Rasulullah
Dari sisi pengeluaran negara, catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah memang tidak tersedia, namun tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem keuangan negara yang ada waktu itu tidak berjalan dengan baik dan benar.[21] 
 Secara garis besar pengeluaran negara pada zaman Rasulullah sebagai berikut:[22]
1)      Pengeluaran primer
a)      Biaya pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
b)      Penyaluran zakat dan usyr kepada yang berhak menerimanya sesuai ketentuan Al-Qur’an.
c)      Pembayaraan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muazin, pejabat negara lainnya.
d)     Pembayaraan upah para sukarelawan.
e)      Pembayaran utang negara
f)       Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak).
2)      Pengeluaran sekunder
a)      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b)      Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
c)      Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
d)     Hadiah untuk pemerintahan negara lain.
e)      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
f)       Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
g)      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
h)      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
i)        Pengeluaran rumah tangga Rasulullah (hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap isterinya).
j)        Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan pada perang Khaibar).

Dari Kebijakan yang dilakukan Rasulullah, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan beliau dalam menggunakan harta negara lebih memprioritaskan kepada masyarakat dan persediaan dana untuk perang, tujuannya tidak lain demi kemaslahatan umat.

b.      Kebijakan pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun
1)   Abu Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaranyang dilakukan yaitu dengan langsung membagi habis harta bait al-ma>l yang pada saat itu bait al-ma>l menerima uang sebesar 80.000 dirham[23] dari Bahrain pada masa itu. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan sistem pendistribusian pada masa Rasulullah, sehingga pada saat beliau wafat hanya ada 1 (satu) dirham[24] yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan.[25]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan ini sangat baik karena pendistribusiannya dilakukan sesuai dengan masa Rasulullah. Akan tetapi menurut pemakalah, termasuk hal yang penting yaitu menyimpan sebagian harta negara sebagai cadangan untuk digunakan sebagai simpanan jika terjadi hal yang tidak diinginkan ataupun yang tidak diperkirakan. 

2)   Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan yang berbeda dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al-ma>l. Kebijakan yang diambil adalah tidak menghabiskan seluruh pendapatan negara secara sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk dana cadangan.[26]
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar bin Khattab menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang berhasil dikumpulkan dalam bait al-ma>l. Dana pada bait al-ma>l adalah milik kaum muslimin, sehingga menjadi tanggung jawab negara  menjamin kesejahtraan rakyatnya. [27]
Pengeluaran non-zakat berdasarkan pendapatannya pada masa Umar bin Khattab adalah: [28]
a)      Khums dan sedekah, didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi apakah dia muslim atau non-muslim.
b)      Kharaj, disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan kebutuhan umat.
c)      Fai, jizyah, usyr (pajak perdagangan) digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta menutupi biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Dari pemaparan di atas, kemudian ditindaklanjut oleh Khalifah Umar bin Khattab kemudian membentuk sistem dîwân[29] yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite pengurus ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya.[30]
Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta bait al-ma>l sebagai berikut:[31]

No.
Penerima
Jumlah
1.
Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib
@12.000 dirham[32]
2.
Para istri Nabi selain Aisyah
@10.000 dirham[33]
3.
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr
@ 5.000 dirham[34]
4.
Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia
@ 4.000 dirham[35]
5.
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathul Mekah
@ 3.000 dirham[36]
6.
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyyah.
@ 2.000 dirham[37]
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham[38], warga Madinah 25 dinar[39], kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 dirham[40] hingga 300 dirham[41], serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham[42].[43] Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang turut bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.[44]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, manurut kami sebagai pemakalah, Khalifah Umar bin Khattab adalah salah satu orang yang bersifat hati-hati yaitu dengan cara tidak menghabiskan sekaligus dana yang dimiliki negara, akan tetapi beliau menyimpan sebagian sebagai cadangan. Dan dengan melihat dari kebijakan beliau dengan memberikan harta negara kepada anak-anak yang baru lahir, ini membuktikan bahwa harta negara sangat melimpah. Dan kita ketahui pula bahwa Khalifah Umar bin Khattab tidak sembarangan dalam menyalurkan harta negara, akan tetapi beliau membuat panitia khusus untuk mengurus masalah tersebut.

3)   Usman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Ada beberapa kebijakan pengeluaran kontroversial yang dilakukan Khalifah yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:[45]

a)      Kebijakan untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-ma>l. Dalam hal ini Usman mengatakan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang menjadi hak saya dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku.” Ini berbeda dengan apa yang dilakukan para khalifah sebelumnya.
b)      Menggunakan dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dala Al-Qur’an. Kebijakan ini menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c)      Kebijakan Usman ra untuk memberikan tambahan gaji bagi para pejabat negara, beberapa di antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.

Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Usman, menurut kami sebagai pemakalah, beberapa kebijakan yang dilakukan beliau memang sebagian besar ada yang kontoversial karena berbeda dengan yang dilakukan khalifah-khalifah pada masa sebelumnya. Mungkin salah satunya terjadi karena sebagian besar pejabat negara adalah kerabat beliau, hal ini menyebabkan banyak harta negara mengalir kepada keluarga beliau dan masalah harta zakat yang tidak digunakan atau disalurkan kepada orang-orang yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Hal tersebut menyebabkan sebagian sahabat kurang setuju dengan kebijakan beliau.  
4)      Ali bin Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
Khalifah Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat dalam melaksanakan keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah pendistribusian harta bait al-ma>l. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-ma>l dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan seluruh pendapatan bait al-ma>l yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.[46]
Pada masa beliau dalam alokasi pengeluaran, yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa Usman, oleh Ali dihilangkan karena daerah sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah, sementara Muawiyah memberontak kepada Ali dengan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa independen di Syria. Adapun fungsi bait al-ma>l masih tetap seperti sebelumnya. Pada masa ini tidak ada perubahan yang berarti.[47]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Ali, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan yang dilakukan beliau jika kita melihat dari segi pengeluaran harta negara maka kebijakan tersebut sama seperti kebijakan yang dilakukan atau dijalankan pada masa Khalifah Umar. Akan tetapi jika kita melihat dari segi dana cadangan negara, maka kebijakan yang dijalankan beliau berbeda dengan kebijakan Umar. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Khalifah Ali menggunakan seluruh dana negara untuk kepentingan masyarakat. Dengan kata lain beliau tidak mengalokasikan dana tersebut untuk cadangan negara, akan tetapi seluruhnya untuk kemaslahatan umat di masa pemerintahan beliau.
c.       Masa Khilafah Bani Umayyah
Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi bait al-ma>l berubah. Jika pada masa sebelumnya bait al-ma>l dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, pada masa pemerintahan Bani Umayyah bait al-ma>l berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.[48]
Keadaan tersebut berlangsung sampai datangnya khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan bait al-ma>l dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para amir (setingkat gubernur) agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah.[49]
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan tegas memutus rantai penyimpangan pendapatan dan distribusi keuangan negara oleh aparatur negara bahkan yang masih ada pertalian darah dengannya atau dengan kata lain masih keturunan Bani Umayyah. Beliau memulai kehidupannya sebagai pemimpin dengan membersihkan harta pribadinya dari barang-barang haram dan syubhat serta menyerahkannya ke bait al-ma>l. Kemudian memulai hidup sederhana bagi ukuran seorang pemimpin dengan wilayah yang luas. Dalam bidang keuangan, Umar melakukan pembenahan dan pengelolaan keuangan negara secara total, yaitu dengan menghapuskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada era pemerintahan khalifah sebelumnya, baik dari pengelolaan pemasukan dan pengeluaran maupun pembenahan administrasi negara secara adil dan transparan.[50]
Khalifah Umar bin Abdul Azis mewarisi pengelolaan keuangan yang telah jauh menyeleweng dari hukum Islam, yang dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran negara. Ketidakseimbangan yang terjadi kemudian berimbas pada ketidakmerataan distribusi pendapatan negara, seperti tidak meratanya pembangunan antarkota dan melebarnya kesenjangan antara kondisi rakyat dan pejabat pemerintahan. Dengan alasan tersebut, Umar memandang bahwa pembenahan secara lebih mendasar merupakan pilihan utama yang tidak dapat dihindari. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk mencari jurisprudensi milik kakeknya Umar bin Khattab kemudian menjadikannya sebagai dasar awal kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tentu dengan ada beberapa perubahan sesuai kebutuhan pada zaman itu.[51]
Untuk menghindari kecurangan dan penyimpangan jabatan dikarenakan gaji yang tidak mencukupi, Umar membuat kebijakan dengan menaikkan gaji para pejabat. Bahkan, karena gaji yang tinggi dianggap lebih dan cukup maka ia melarang para pejabat untuk berdagang atau mempunyai aktifitas lain yang akan mengganggu konsentrasi mereka dalam menjalankan roda pemerintahan.[52]
Dari kebijakan pada masa Bani Umayyah, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Azis mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Itu artinya kebijakan tersebut sama rincinya atau sama bagusnya dengan kebijakan tersebut. Walaupun beliau mewarisi pengelolaan keuangan yang menyeleweng dari hukum Islam, akan tetapi beliau langsung merubahnya dan menanamkan beberapa kebijakan yang ditujukan kepada para pejabat negara demi tercapainya tujuan pemerintah yaitu untuk mensejahterakan rakyat.  

d.      Masa Khilafah Bani Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M)
Di era Dinasti Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun Perpustakaan Al-Hikmah, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, seperti Nizhomiyah. Baghdad kala itu sudah menjadi kota metropolitan. Pada saat yang sama, Barat masih gelap gulita. [53]
Ketika pemerintahan dikuasai Khalifah Harun Ar-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.
Pendapatan negara dikeluarkan berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan penterjemahan buku-buku Yunani, di samping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.[54]
Pada masa Harun Ar-Rasyid ada beberapa kebijakan yang ditanamkan beliau pada masa kepemimpinannya, di antaranya adalah:[55]
1)      Meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis pada keadilan dan maslahah
2)      Mengklasifikasikan secara umum penerimaan negara pada 3 kategori utama, yaitu; ganimah, usyr dan kharaj yang pemungutannya memiliki aturan-aturan tersendiri.

Dari kebijakan pada masa Bani Abbasiyah, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan Khalifah Harun Ar-Rasyid yang berdasarkan pada keadilan dan maslahah telah sesuai dengan tujuan negara dan harapan masyarakat baik yang dulu maupun sampai masyarakat yang sekarang.

3.      Analisis Kebijakan Pengeluaran Negara di Masa Kontemporer
Di masa Rasulullah SAW kebijakan anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.[56]
Negara yang menganut demokrasi, biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum. Tiap tahun, fakta anggaran belanja negara yang menganut demokrasi tersebut adalah bahwa anggaran belanjanya dinyatakan melalui peraturan yang disebut dengan peraturan anggaran belanja negara sekian tahunan. Kemudian ditetapkan sebagai peraturan setelah dibahas dengan parlemen.[57]
Anggaran modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan rasionalisasi struktur pajak baik dengan mengambil kredit dari sistem perbankan atau luar negeri.
Oleh karena itu, di dalam Islam tidak di mengenal pembuatan anggaran belanja negara tahunan, sebagaimana yang terdapat dalam demokrasi, baik terkait dengan bab-babnya, pasal-pasalnya, istilah, dan pasal tersebut. Dari sinilah maka anggaran belanja negara Islam tidak dibuat dalam bentuk tahunan, meskipun negara Islam mempunyai belanja negara tetap yang bab-babnya telah ditetapkan oleh syara’ mengikuti pendapatan dan pengeluarannya. [58]
Telah kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasi pada pertumbuhan modern dalam suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-Sunnah dengan jelas menyatakan tentang hal ini: ”Selalu ada yang harus dibayar selain zakat.” Maka Rasulullah SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan masyarakat. Sabdanya: ”kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan kepada si miskin.”[59]
Setiap warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai dengan kemampuannya, yaitu sesuai dengan pendapatannya. Menurut prinsip ekonomi, biaya pemungutan pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri.[60]
Terangkum dengan jelas bahwa sistem perekonomian yang mengenai anggaran belanja, menjadi suatu perbeadan yang mendasar mengenai sistem belanja Islam dengan modern. Islam menitikberatkan pada masalah pelayanan terhadap urusan umat, yang telah ditetapkan sesuai dengan apa yang menjadi pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran belanja modern lebih menekankan pada suatu campuran rumit antara rencana dan proyek.
Kitab suci Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat. Sesungguhnya, bila kita memperhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW tidak ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan modern.
Dalam suatu negara Islam, yang menjadi dasar anggaran tidak lagi penerimaan yang akan menentukan jumlah yang tersedia bagi pengeluaran. Dalam negara Islam pengeluaran yang sangat dibutuhkanlah yang akan menjadi dasar dari anggaran. [61]
Di tahun belakangan ini, sejumlah bentuk baru anggaran telah berkembang, yang terpenting ialah anggaran berdasarkan prestasi. Di negara Islam pada umumnya anggaran belanja berdasarkan program dan berdasarkan prestasi hanya dapat dilaksanakan bila terdapat sarana dan prasarana administrasi yang kuat dengan staf akuntan terdidik, ahli ekonomi, perencana, dan tenaga ahli lainnya.[62]
Analisis kami sebagai pemakalah tentang kebijakan pengeluaran negara di masa kontemporer ini, walaupun disebutkan bahwa kebijakan sekarang ini dinyatakan rumit atau susah dan sangat berbeda dengan kebijakan di masa Islam. Menurut kami, kami tidak mempermasalahkan rumitnya kebijakan pengeluaran negara sekarang ini, akan tetapi kami hanya mempermasalahkan begaimana sistem pengeluarannya. Maksud kami di sini adalah bagaimana mengelola pengeluaran negara dengan baik dan benar, yaitu mungkin kita dapat berkaca pada bagaimana sistem pengeluaran para khalifah yang sukses dalam mengurus masalah pengeluaran negara tersebut. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan pengeluaran negara lebih besar digunakan untuk masyarakat yaitu untuk mengurangi kemiskinan dan tidak selalu menghabiskan dana untuk fasilitas-fasilitas yang lebih menguntungkan pejabat-pejabat saja.  

C.    Penutup
Kebijakan pengeluaran non-zakat adalah salah satu instrumen penting dalam kemajuan suatu negara saat ini. Akan tetapi jika hanya mengandalkan satu instrumen ini, menurut kami sebagai pemakalah instrumen non-zakat tidak bisa digunakan sebagai sumber pengeluaran yang digunakan untuk semua jenis pengeluaran negara. 
Berkaca pada negara kita Indonesia saat ini, karena terlalu menitikberatkan pada penghasilan non-zakat maka dapat kita lihat dari keadaan masyarakat negara kita yang masih banyak rendah perekonomian atau dengan kata lain dapat disebut miskin, padahal masih ada instrumen yang dapat digunakan untuk mengulangi masalah tersebut yaitu memperhatikan bagaimana pengelolaan zakat.  
Zakat dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan yang ada di Negara Indonesia ini, sedangkan pendapatan dana non-zakat dapat dikonsentrasikan pada pembangunan infrastruktur negara ini. Dari gabungan kedua instrumen tersebut diharapkan perekonomian Indonesia dapat meningkat dari saat ini dan dapat mengurangi kemiskinan. Karena kita mengetahui bahwa perekonomian negara dapat melambangkan bagaimana kemajuan negara tersebut.





DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adiwarman Azwan Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008, edisi ke-3.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta, Kencana, 2012.

Internet
Bani Pamungkas, Kebijakan Moneter Masa Awal Islam, http://khanaqwa.blogspot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html  
Muhammad Mas’ud, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Umayyah,http://muhammadmasud.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/10/02/sejarah-pemikiran-dan-peradaban-islam-masa-dinasti-umayyah/
Zoulkem, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/




[1] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 188.
[2] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT Rja Grafindo Persada, 2007), h. 210.
[3] Handa S. Abidin, Belanja Negara, http://penelitihukum.org/tag/definisi-belanja-negara/ Diakses 09 Desember 2013 Pukul 09:50  WITA.
[4] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 188.
[5] Ibid., h. 189.
[6] Retribusi yaitu pemungutan uang oleh pemerintah (kotapraja dan sebagainya) sebagai balas jasa. Sumber: W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006).,  h. 975.
[7] Intervensi pasar yaitu campur tangan dalam  perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara).  Sumber: Ibid, h. 450.
[8] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op. cit., h. 189.
[9] Ibid., h. 189-190.
[10] Infrastruktur yaitu prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Sumber: Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasionsl, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)., h. 554.
[11] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op. cit., h. 191.
[12] Ibid.
[13] Ganimah yaitu harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh melalui peperangan dan kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta peperangan yang memunculkan rasa takut dalam hati kaum musyrikin. Sumber: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah., op.cit., h.86.
[14] Fai yaitu menegembalikan sesuatu, dalam terminologi hukum, fai menunjukkan seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa peperangan. Sumber:  Ibid., h. 118.
[15] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 191.
[16] Ibid., h. 192-193.
[17] Kharaj yaitu pajak atas tanah atau hasil tanah. Sumber: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 126.
[18] Jizyah yaitu beban (pajak) yang diambil dari penduduk non-muslim. Sumber: Ibid., h. 119.
[19] Ushr yaitu sepersepuluh. Ini merupakan pajak atas hasil pertanian. Sumber: Ibid., h. 113.
[20] Khums yaitu seperlima dari harta kekayaan yang dimiliki. Sumber: Adiwarman Azwan Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islam,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008), edisi ke 3.,  h. 126.
[21] Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, op.cit., h. 66.
[22] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit., h. 193-194.
[23] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 80.000 dirham = Rp 62.667 X 80.000 = Rp 5.013.360.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[24] 1 dirham = Rp 62.667. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[25] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit., h. 194-195.

[26] Ibid., h. 195.
[27] Ibid., h. 196.
[28] Ibid., h. 197.
[29] Diwan yaitu sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan dan tunjangan-tunjangan lainnya. Sumber: Abdul Gafur, Kebijakan Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Umar, http://gavouer.wordpress.com/2011/03/02/kebijakan-ekonomi-di-masa-pemerintahan-khalifah-umar-bin-khattab/ Diakses 11 Desember 2013 pukul 16:58 WITA.
[30] Adiwarman Azwan Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islamop.cit.,  h. 63.
[31] Ibid.
[32] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 12.000 dirham = Rp 62.667 X 12.000 = Rp 752.004.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[33] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 10.000 dirham = Rp 62.667 X 10.000 = Rp 626.670.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[34] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 5.000 dirham = Rp 62.667 X 5.000 = Rp 313.335.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[35] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 4.000 dirham = Rp 62.667 X 4.000 = Rp 250.668.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[36] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 3.000 dirham = Rp 62.667 X  3.000 = Rp 188.001.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[37] Jika 1 dirham = Rp 62.667,  maka 2.000 dirham = Rp 62.667 X 2.000 = Rp 125.334.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[38] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 800 dirham = Rp 62.667 X 800 = Rp 50.133.600. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[39] Jika 1 dinar = Rp 1.973.148, maka 25 dinar  = Rp 1.973.148 X 25 = Rp 49.328.700. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[40] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka2 00 dirham = Rp 62.667 X 200 = Rp 12.533.400. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[41] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 300 dirham = Rp 62.667 X 300 = Rp 18.800.100. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[42] Jika 1 dirham = Rp 62.667, maka 100 dirham = Rp 62.667 X 100 = Rp 6.266.700. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[43] Adiwarman Azwan Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islam, op.cit., h. 64.
[44] Ibid.
[45] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit., h. 207.
[46] Ibid., h. 209.
[47] Ibid.
[48] Zoulkem, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/. Diakses 09 Desember 2013 Pukul 15:28 WITA.
[49] Ibid.
[50] Muhammad  Mas’ud, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Umayyah, http://muhammadmasud.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/10/02/sejarah-pemikiran-dan-peradaban-islam-masa-dinasti-umayyah/. Diakses 09 Desember 2013 Pukul 10:30 WITA.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Zoulkem, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/., loc-cit.
[54] Bani Pamungkas, Kebijakan Moneter Masa Awal Islam, http://khanaqwa.blogspot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html.  Diakses 10 Desember 2013 Pukul  14:00 WITA.
[55] Ibid.
[56] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit., h. 209.
[57] Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 209.
[58] Ibid., h.210.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid., h. 211.
[62] Ibid.