Sabtu, 05 April 2014

Ji'alah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya.
Agama islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqih mualamah. Dalam hubungan sesama manusia, kita pasti sudah mengetahui bahwa ada salah satu akad yaitu ji’alah.
Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.
Dari paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas tentang apa itu sebenarnya akad ji’alah yang telah ada sejak zaman dahulu ini. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari akad ji’alah?
2.      Bagaimana Landasan hukum akad ji’alah?
3.      Apa rukun dan syarat ji’alah?
4.      Apa yang dimakasud dengan shigah akad ji’alah?
5.      Bagaimana terjadi pembatalan akad ji’alah?
6.      Bagaimana hukum perselisihan pemilik dengan amil?
7.      Apa Hikmah dari ji’alah?










BAB II
JI’ALAH

A.    Definisi Akad Ji’alah
Akad ji’alah, ju’l atau ju’liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji’alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara’, akad ji’alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.[1] Ji’alah boleh juga diartikan sebagai sesuatu yang mesti diartikan sebagai pengganti suatu pekerjaan dan padanya terdapat suatu jaminan, meskipun jaminan itu tidak dinyatakan, ji’alah dapat diartikan pula upah mencari benda-benda hilang.[2]
Ji’alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja’l) kepada orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua  atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.[3]
Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji’alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian.[4]
Di antara contoh akad ji’alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orang-orang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat.
Termasuk didalam akad ji’alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur’an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur.[5]

B.     Landasan Hukum Akad Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji’alah tidak dibolehkan karena di dalanya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan−dengan dalil istihsan−memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan.[6]
Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad ji’alah dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama saudara-saudaranya.
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ
“Mereka menjawab, ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf: 72).
Juga berdasarkan hadits yang menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya, “apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat menjawab, “kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian memberi kami upah.” [7]
Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air ludahnya kemudian meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat. Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.”[8]
Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji’alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji’alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur, dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji’alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji’alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji’alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan,  dan dibolehkan karena ada izin dari Allah.[9]
Dari pemaparan landasan hukum tentang ji’alah diatas dapat di ambil beberapa poin penting, yaitu: [10]
1.        Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan. Jadi kedua belah pihak diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja brhak mendapatkan upah atas pekerjaan.
2.        Dalam ji’alah, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, “Barangsiapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan hadiah satu dinar, “maka orang yang  berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati ia menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3.        Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, hadiahnya dibagi secara merata antara mereka.
4.        Ja’alah tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi seseorang tidak boleh berkata, “Barangsiapa menyanyi, atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan ja’alah (hadiah) sekian.”
5.        Barangsiapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau menerjakan suatu pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat ji’alah (hadiah), ia tidak berhak atas ja’alah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan ja’alah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuanya maka ia diberi ji’alah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6.        Jika seseorang  berkata, “Barangsiapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas ji’alah (hadiah), “maka ji’alah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia berkata, “Barangsiapa makan dan ia meninggalkan sebagian dari makanan tersebut, ia berhak atas ji’alah,” maka ji’alah tidak sah.
7.        Jika pemilik ja’alah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji’alah, maka ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ja’alah dengan disuruh bersumpah. Jika kedua berbeda pendapat tentang pokok ji’alah, maka  ucapan yang diterima ialah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.


C.    Rukun dan Syarat Ji’alah
Ada beberapa rukun dan syarat ji’alah yaitu: [11]
1.      Lafadh, hendaklah dipergunakan lafadh yang jelas dan mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan juga tidak ditentukan waktunya.
2.      Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang yang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan.
3.      Pekerjaan, yaitu mencari barang yang hilang.
4.      Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang/benda yang tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru kepada umum: “Barangsiapa yang mendapat barang/bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan).

D.    Sighah Akad Ji’alah
Akad ji’alah adalah komitmen berdasarkan kehendak satu pihak, sehingga akad ji’alah tidak terjadi kecuali dengan adanya shigah dari yang akan memberi upah (ja’il) dengan shigah-shigah dalam definisi di atas dan yang sejenisnya. Shigah ini berisi izin untuk melaksanakan dengan permintaan yang jelas, menyebutkan imbalan yang jelas, dan diinginkan secara umum serta adanya komitmen untuk itu memenuhinya. Apabila seseorang pelaksana akad (‘amil) memulai pekerjaan ji’alah tanpa izin dari pemberi upah atau ia memberi izin kepada seseorang tapi yang mengerjakannya orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan apa-apa. Hal itu karena pada kondisi pertama orang itu bekrja dengan sukarela; dan pada kondisi kedua orang itu tidak melakukan apa-apa. Tidak disyaratkan bagi ja’il harus seorang pemilik barang dalam ji’alah, sehingga dibolehkan bagi selain pemilik barang untuk memberikan upah dan orang yang dapat mengembalikan sesuatu itu berhak menerima upah tersebut.[12]
Juga tidak disayaratkan adanya ucapan qabul (penerimaan) dari ‘amil (pelaksana), sekalipun ja’il telah mengkhususkan orang itu untuk melaksanakan akad ji’alah tersebut, karena akad ini merupakan komitmen dari satu pihak sebagaimana telah dijelaskan di atas. Akad ji’alah diperbolehkan dikhususkan untuk orang tertentu saja atau untuk umum. Seorang ja’il juga dibolehkan untuk memberikan bagi orang khusus imbalan tertentu dan bagi orang lain imbalan yang berbeda.[13]

E.     Pembatalan Ji’alah
Tiap-tiap keduanya, boleh membatalkan/menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang membatalkannya orang yang bekerja dan dia tidak mendapat upah walaupun dia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan dari pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dikerjakan.[14]

F.     Hukum Perselisihan Pemilik dan ‘Amil
Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji’alah (ja’il) dan amil, dalam masalah asal persyaratan upah, misalkan salah satunya mengingkari persyaratan tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti jika amil berkata, “kamu mensyratkan memberi upah pada saya,” tapi sipemilik mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena asalnya tidak ada persyaratan upah.
Dan jika mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekrjaan (‘amil) tersebut dengan sumpahnya. Karena amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka orang yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya.[15]
Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan si pemilik berkata, “kamu bukan yang mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali sendiri.” Maka si pemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.
Dan jika mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapan bahawa keduanya disumpah dan akad ji’alahnya dibatalkan, lalu si pemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku.
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang  dibenarkan adalah ucapan si pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena si pemilik mengingkari yang diaku oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diaku oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga.[16]


G.    Hikmah Ji’alah
Ji’alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan atau membantu seseorang menghafal al-Qur’an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji’alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji’alah, akan terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja.
Terkait dengan ji’alah sebagai sesuatu pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.[17]



BAB III
ANALISIS

Berbicara  tentang akad ji’alah, ji’alah  adalah salah satu dari kebiasaan umat manusia pada zaman ini, dan kita semua telah mengetahui bahwa ji’alah telah ada sejak zaman dahulu. Ji’alah adalah jenis akad untuk suatu manfaat materi yang diduga kuat dapat diperoleh. Ji’alah diperbolehkan karena lantaran diperlukan.
Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pelaksanaan ji’alah termasuk bermacam-macam sayembara dan pertandingan seperti pada zaman sekarang ini haruslah dilihat dan dilaksanakan dalam suatu kegiatan yang bebas dari unsur penipuan, penganiayaan, dan saling merugikan. Didalam pelaksanaan ji’alah. Penekanan pemberian imbalan haruslah didasarkan atas prestasi dan usaha yang jauh dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran agama islam.
Ji’alah adalah akad yang diperbolehkan untuk membatalkannya, yaitu kedu pihak boleh untuk membatalkannya, adalah menjadi hak bagi si pelaksana ji’alah untuk membatalkan, sebelum ia menyelesaikan pekerjaan, dan ia pun berhak untuk membatalkan sesudah itu, jika ia merelakannya amaka haknya gugur. Adapun bagi yang menyuruh tidak berhak membatalkan jika si pelaksana sudah menyukseskan atau menyelesaikan pekerjanya.


BAB IV
PENUTUP

A.    Simpulan
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Ji’alah juga dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji’alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Dan berdasarkan landasah hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.











DAFTAR PUSTAKA

Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, Gema Insani,  2011.
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafinfo Persada, 2011.
Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, Jakarta, Kencana, 2012.
Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, Jakarta PT. Darul Falah. 2000.
Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, Surabaya Terbit Terang, 2005.



[1] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani,  2011), h. 432.
[2] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,  (Jakarta: PT Raja Grafinfo Persada, 2011), h. 207.
[3] Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314. 
[4] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu,  op-cit, h. 432.
[5] Ibid., h. 433.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., h. 434.
[9] Ibid.
[10] Abu Bakr Jabiz Al-Jazairi, Minhajul Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Ensiklopedi Muslim Minhaajul Muslim, (Jakarta: PT. Darul Falah. 2000), h. 526-527.
[11] Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang. 2005), h. 382.
[12] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 434.
[13] Ibid.
[14] Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap, op-cit, h. 382.
[15] Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie, dkk, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, op-cit, h. 439.
[16] Ibid.
[17] Nur Azizah, Makalah Ji’alah, http://nurazizahaza.blogspot.com/2013/01/makalah-jialah.html. Di akses 25 Maret 2014 pukul 13:36.