Kebijakan Pengeluaran
Instrumen Non-zakat Dalam Islam
Oleh: Dian Hariyadi;
Habiburrahman; Safrudin
A. Pendahuluan
Kebijakan pengeluaran adalah unsur kebijakan fiskal di mana
pemerintah atau negara membelanjakan pendapatan yang telah dikumpulkan. Dengan kebijakan
pengeluaran inilah negara dapat melakukan proses distribusi pendapatan kepada
masyarakat dan dengan kebijakan ini pula negara bisa menggerakan perekonomian
yang ada di masyarakat. Kebijakan pengeluaran harus bisa menjamin pemenuhan
kebutuhan pokok yang ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa memandang
agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Keberhasilan negara untuk
melakukan kebijakan pengeluaran sesuai tujuan yang disyaratkan syariah akan
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ini karena kebijakan pengeluaran tersebut
adalah suatu proses distribusi pendapatan kepada masyarakat.[1]
Kebijakan
pengeluaran negara tidak pernah lepas dari pengeluaran non-zakat. Pengeluaran non-zakat
adalah salah satu instrumen penting dalam suatu negara sebagai fasilitas untuk
melancarkan program pengeluaran negara. Pengeluaran non-zakat dalam Islam diartikan
tentunya sebagai pengeluaran-pengeluaran yang sesuai dengan tuntutan Islam.
Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah
keamanan, pengobatan dan pendidikan.[2]
Dari
paparan di atas, penulis merasa tertarik untuk lebih dalam lagi membahas
tentang kebijakan pengeluaran non-zakat dalam Islam, pembahasan berupa
bagaimana kaidah belanja negara dalam Islam. Di dalam makalah ini juga dibahas
bagaimana analisis kebijakan pengeluaran negara sepanjang sejarah dalam Islam dan
di masa kontemporer.
B.
Pembahasan
1.
Kaidah Belanja Negara Dalam Islam
Belanja negara adalah semua pengeluaran negara untuk
membiayai belanja pemerintah pusat dan dana perimbangan (Pasal 1 Angka 7 UU
Nomor 35 Tahun 2000 Tentang APBN Tahun 2001).[3]
Dalam konsep ekonomi Islam, belanja
negara harus sesuai dengan syari’iyyah dan penentuan skala prioritas. Para
ulama terdahulu telah memberikan kaidah umum yang disyariatkan dalam Al-Qur’an
dan as-sunah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut
sebagai berikut:[4]
a.
Bahwa
timbangan kebijakan pengeluaran dan belanja pemerintahan harus senantiasa
mengikuti kaidah maslahah.
b.
Menghindari
masyaqqah, (al-masyaqqah), menurut arti bahasa adalah at-ta’ab,
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan dan kesukaran.
c.
Mudarat
individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat skala besar.
d.
Pengorbanan
individu atau kerugian individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum.
e.
Kaidah
“al-giurmu bil gunmi’, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
f.
Kaidah
“ma> la> yatimmu al-wa>jibu
illa> bihi fahuwa wa>jib”, yaitu kaidah
yang menyatakan bahwa; ”sesuatu hal yang wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang
oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka menegakkan faktor
penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah
tersebut dapat membantu dalam merealisasikan efektivitas dan efisiensi dalam
pola pembelanjaan pemerintah dalam Islam sehingga tujuan-tujuan dari
pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Tujuan pembelanjaan pemerintah dalam Islam,
sebagai berikut:[5]
a.
Pengeluaran
demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b.
Pengeluaran
sebagai alat retribusi[6]
kekayaan.
c.
Pengeluaran
yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d.
Penegeluaran
yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e.
Pengeluaran
yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar[7].
Kebijakan
belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi menjadi tiga
bagian, sebagai berikut:[8]
a.
Belanja
kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
b.
Belanja
umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
c.
Belanja
umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya.
Adapun kaidah syariah yang berkaitan
dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin mengacu pada
kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas, secara lebih perinci pembelanjaan
negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:[9]
a.
Bahwa
kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan
asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang
atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pemerintah.
b.
Kaidah
atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin
manfaat dalam biaya semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubadzir
dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan
dengan syariah.
c.
Kaidah
selanjutnya adalah tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaannya,
walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup
berlandaskan pada nas-nas yang sahih seperti pada kasus “al-hima” yaitu
tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukkan bagi kepentingan
umum. Ketika Rasulullah mengkhususkan tanah untuk pengembalaan ternak kaum duafa,
Rasulullah melarang ternak-ternak milik para agniya atau orang kaya yang
mengembala di sana. Bahkan Umar berkata: “Hati-hati jangan sampai ternak
Abdurrahman bin Auf mendekati lahan pengembalaan kaum duafa.”
d.
Kaidah
atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja negara hanya
hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.
e.
Kaidah
atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, di mulai dari yang wajib,
sunah, dan mubah.
Adapun belanja umum yang dapat
dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia, mencakup pengadaan
infrastruktur[10]
air, listrik, kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Selanjutnya adalah belanja
umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya. Bentuk belanja
seperti ini biasanya melalui mekanisme produksi barang-barang yang disubsidi.
Subsidi sendiri sesuai dengan konsep syariah yang memihak kepada kaum fuqara
dalam hal kebijakan keuangan, yaitu bagaimana meningkatkan taraf hidup mereka.
Tetapi konsep subsidi harus dibenahi sehingga mekanisme tersebut mencapai
tujuannya. Konsep tersebut di antaranya adalah dengan penentuan subsidi itu
sendiri, yaitu bagi yang membutuhkan bukan dinikmati oleh orang kaya, atau
subsidi dalam bentuk bantuan langsung.[11]
2.
Analisis Kebijakan Pengeluaran Negara Sepanjang Sejarah Dalam Islam
Menurut Ibnu Taimiyah,, prinsip
dasar dari pengelolaan pengeluaran adalah pendapatan yang berada di tangan
pemerintahan atau negara merupakan milik masyarakat sehingga harus dibelanjakan
untuk kebutuhan masyarakat sesuai dengan pedoman Allah SWT. Saat membelanjakan
membelanjakan uang masyarakat, maka harus diprioritaskan kepada hal-hal yang
penting. Dalam pandangannya, pembelanjaan utama antara lain:[12]
a.
Kaum
miskin dan yang membutuhkan.
b.
Pemeliharaan
tentara untuk jihad dan pertahanan.
c.
Pemeliharaan
ketertiban dan hukum internal.
d.
Pensiun
dan gaji pegawai.
e.
Pendidikan.
f.
Infrastruktur.
g.
Kesejahteraan
umum.
Dalam pengalokasian sumber
penerimaan terhadap pengeluaran tidak serta-merta dilakukan untuk pengeluaran
tersebut di atas. Ada pengaturan dan penyesuaian antara sumber pendapatan dan
pengeluaran. Untuk penerimaan dari zakat dan ganimah[13]
peruntukannya sudah ditentukan seara jelas dalam Al-Qur’an, sedangkan fai[14]
pemanfaatannya lebih fleksibel untuk meng-cover pengeluaran publik
lainnya.[15]
Menurut Sakti, dalam Islam, semua
jenis pendapatan dimasukan ke dalam bait al-ma>l, lalu digunakan pada dua jenis penyaluran, anggaran untuk kesejahteraan
dan anggaran untuk umum. Adapun anggaran untuk umum berasal dari pendapatan
lainnya, seperti pajak dan non-pajak. Didapatkan bahwa Islam lebih terfokus
pada kesejahteraan masyarakatnya daripada pertumbuhan ekonomi semata. Dalam
pengelolaan agama Islam pemerintah
sebaiknya mendahulukan kepentingan syariah daripada pertimbangan negara yang bersifat
keduniaan. Berikut ini tabel alokasi pengeluaran dari sumber penerimaan negara:[16]
Alokasi
Pengeluaran dari Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan
|
Pengeluaran
|
Jenis Regulasi
|
|
Zakat
|
Kebutuhan dasar
|
Kharaj[17]
|
Kesejahteraan sosial
|
Jizyah[18]
|
Pendidikan dan penelitian
|
Jenis Sukarela
|
|
Usyr[19]
|
Infrastrukutur (fasilitas publik)
|
Infak-sedekah
|
Dakwah dan propaganda Islam
|
Wakaf
|
Administrasi negara
|
Jenis Kondisional
|
|
Khums[20]
|
|
Pajak
|
|
Keuntungan BUMN
|
|
Lain-lain
|
a.
Kebijakan
pengeluaran zaman non-zakat Rasulullah
Dari sisi pengeluaran negara,
catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa pemerintahan Rasulullah
memang tidak tersedia, namun tidak berarti menimbulkan kesimpulan bahwa sistem
keuangan negara yang ada waktu itu tidak berjalan dengan baik dan benar.[21]
Secara garis besar pengeluaran negara pada
zaman Rasulullah sebagai berikut:[22]
1)
Pengeluaran
primer
a)
Biaya
pertahanan, seperti persenjataan, unta, kuda, dan persediaan.
b)
Penyaluran
zakat dan usyr kepada yang berhak menerimanya sesuai ketentuan
Al-Qur’an.
c)
Pembayaraan
gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muazin, pejabat negara lainnya.
d)
Pembayaraan
upah para sukarelawan.
e)
Pembayaran
utang negara
f)
Bantuan
untuk musafir (dari daerah Fadak).
2)
Pengeluaran
sekunder
a)
Bantuan
untuk orang yang belajar agama di Madinah.
b)
Hiburan
untuk para delegasi keagamaan.
c)
Hiburan
untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
d)
Hadiah
untuk pemerintahan negara lain.
e)
Pembayaran
denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan muslim.
f)
Pembayaran
utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
g)
Pembayaran
tunjangan untuk orang miskin.
h)
Tunjangan
untuk sanak saudara Rasulullah.
i)
Pengeluaran
rumah tangga Rasulullah (hanya jumlah kecil, yakni 80 butir kurma dan 80 butir
gandum untuk setiap isterinya).
j)
Persediaan
darurat (sebagian dari pendapatan pada perang Khaibar).
Dari Kebijakan yang dilakukan Rasulullah, menurut kami sebagai
pemakalah, kebijakan beliau dalam menggunakan harta negara lebih
memprioritaskan kepada masyarakat dan persediaan dana untuk perang, tujuannya
tidak lain demi kemaslahatan umat.
b.
Kebijakan
pengeluaran non-zakat masa Al-Khulafa Ar-Rasyidun
1)
Abu
Bakar As-Siddiq (11-13 H/632-634 M)
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, kebijakan pengelolaan anggaranyang
dilakukan yaitu dengan langsung membagi habis harta bait al-ma>l yang pada saat itu bait al-ma>l menerima uang sebesar 80.000 dirham[23]
dari Bahrain pada masa itu. Sistem pendistribusian seperti ini melanjutkan
sistem pendistribusian pada masa Rasulullah, sehingga pada saat beliau wafat
hanya ada 1 (satu) dirham[24]
yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan.[25]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, menurut kami
sebagai pemakalah, kebijakan ini sangat baik karena pendistribusiannya
dilakukan sesuai dengan masa Rasulullah. Akan tetapi menurut pemakalah,
termasuk hal yang penting yaitu menyimpan sebagian harta negara sebagai
cadangan untuk digunakan sebagai simpanan jika terjadi hal yang tidak
diinginkan ataupun yang tidak diperkirakan.
2)
Umar
bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mengambil kebijakan
yang berbeda dengan para pendahulunya dalam mengelola bait al-ma>l. Kebijakan yang diambil adalah tidak menghabiskan seluruh
pendapatan negara secara sekaligus, melainkan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan, sebagian di antaranya digunakan untuk dana cadangan.[26]
Dalam melaksanakan anggaran pengeluaran negara, Khalifah Umar bin
Khattab menekankan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan kekayaan yang
berhasil dikumpulkan dalam bait al-ma>l. Dana pada bait al-ma>l adalah milik kaum muslimin, sehingga menjadi tanggung jawab
negara menjamin kesejahtraan rakyatnya. [27]
Pengeluaran non-zakat berdasarkan pendapatannya pada masa Umar bin
Khattab adalah: [28]
a)
Khums
dan sedekah, didistribusikan kepada kaum miskin tanpa diskriminasi
apakah dia muslim atau non-muslim.
b)
Kharaj, disimpan untuk cadangan darurat, membiayai angkatan perang dan
kebutuhan umat.
c)
Fai,
jizyah, usyr (pajak
perdagangan) digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan, serta
menutupi biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Dari pemaparan di atas, kemudian ditindaklanjut oleh Khalifah Umar bin
Khattab kemudian membentuk sistem dîwân[29]
yang menurut pendapat terkuat mulai dipraktekkan untuk pertama kalinya pada
tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah komite pengurus ternama yang
terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir bin Mut`im
untuk membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan
golongannya.[30]
Setelah semua penduduk terdata, Umar mengklasifikasikan beberapa golongan
yang berbeda-beda dalam pendistibusian harta bait
al-ma>l sebagai berikut:[31]
No.
|
Penerima
|
Jumlah
|
1.
|
Aisyah dan Abbas bin Abdul Muthallib
|
@12.000 dirham[32]
|
2.
|
Para istri Nabi selain Aisyah
|
@10.000 dirham[33]
|
3.
|
Ali, Hasan, Husain, dan para pejuang Badr
|
@ 5.000 dirham[34]
|
4.
|
Para pejuang Uhud dan migran ke Abysinia
|
@ 4.000 dirham[35]
|
5.
|
Kaum muhajirin sebelum peristiwa Fathul Mekah
|
@ 3.000 dirham[36]
|
6.
|
Putra-putra para pejuang Badr, orang-orang yang memeluk Islam ketika
terjadi peristiwa Fathu Mekah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para
pejuang perang Qadisiyyah, Uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian
Hudaibiyyah.
|
@ 2.000 dirham[37]
|
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800
dirham[38], warga
Madinah 25 dinar[39],
kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan
sebesar 200 dirham[40] hingga
300 dirham[41],
serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing memperoleh
100 dirham[42].[43] Di
samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak,
madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda
di setiap wilayah. Peran negara yang turut bertanggungjawab terhadap pemenuhan
kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal
yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.[44]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, manurut kami
sebagai pemakalah, Khalifah Umar bin Khattab adalah salah satu orang yang
bersifat hati-hati yaitu dengan cara tidak menghabiskan sekaligus dana yang
dimiliki negara, akan tetapi beliau menyimpan sebagian sebagai cadangan. Dan
dengan melihat dari kebijakan beliau dengan memberikan harta negara kepada
anak-anak yang baru lahir, ini membuktikan bahwa harta negara sangat melimpah.
Dan kita ketahui pula bahwa Khalifah Umar bin Khattab tidak sembarangan dalam
menyalurkan harta negara, akan tetapi beliau membuat panitia khusus untuk
mengurus masalah tersebut.
3)
Usman
bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Ada beberapa kebijakan pengeluaran kontroversial yang dilakukan Khalifah
yang menimbulkan kericuhan di kalangan umat Islam, yaitu:[45]
a)
Kebijakan
untuk memberikan kepada kerabatnya harta dari bait al-ma>l. Dalam hal ini Usman mengatakan dalam pidatonya: “Sesungguhnya Abu
Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka. Namun saya mengambil apa yang
menjadi hak saya dan saya bagikan kepada saudara-saudara dekatku.” Ini berbeda
dengan apa yang dilakukan para khalifah sebelumnya.
b)
Menggunakan
dana zakat untuk pembiayaan perang atau pembiayaan lainnya. Kebijakan ini
dianggap kurang tepat oleh sahabat karena menyalahi aturan Allah dalam
distribusi zakat sebagaimana yang diperintahkan dala Al-Qur’an. Kebijakan ini
menimbulkan kesulitan bagi pemerintahannya sendiri karena jatah zakat yang
seharusnya diberikan kepada fakir miskin dialihkan untuk pembiayaan lain, maka
terjadi kesenjangan antara kaya dan miskin.
c)
Kebijakan
Usman ra untuk memberikan tambahan gaji bagi para pejabat negara, beberapa di
antaranya memiliki hubungan dengan kekerabatan dengannya.
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Usman, menurut kami
sebagai pemakalah, beberapa kebijakan yang dilakukan beliau memang sebagian
besar ada yang kontoversial karena berbeda dengan yang dilakukan
khalifah-khalifah pada masa sebelumnya. Mungkin salah satunya terjadi karena
sebagian besar pejabat negara adalah kerabat beliau, hal ini menyebabkan banyak
harta negara mengalir kepada keluarga beliau dan masalah harta zakat yang tidak
digunakan atau disalurkan kepada orang-orang yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an.
Hal tersebut menyebabkan sebagian sahabat kurang setuju dengan kebijakan
beliau.
4)
Ali bin
Abi Talib (35-40 H/656-661 M)
Khalifah Ali bin Abi Talib hidup sangat sederhana dan sangat ketat
dalam melaksanakan keuangan negara. Ali tidak sepaham dengan Umar dalam masalah
pendistribusian harta bait al-ma>l. Keputusan Umar dalam pertemuan dengan Majelis Syura yang
menetapkan bahwa sebagian dari harta bait al-ma>l dijadikan cadangan, tidak sejalan dengan pedapat Ali, sehingga pada
saat Ali diangkat menjadi khalifah, kebijakan yang dilakukan berubah. Ali mendistribusikan
seluruh pendapatan bait al-ma>l yang ada di Madinah, Kufah, dan Busra.[46]
Pada masa beliau dalam alokasi pengeluaran, yang dilakukan hampir
sama dengan yang dilakukan Khalifah Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah
jumlahnya pada masa Usman, oleh Ali dihilangkan karena daerah sepanjang garis
pantai Syria, Palestina dan Mesir berada di bawah kekuasaan Muawiyah, sementara
Muawiyah memberontak kepada Ali dengan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa
independen di Syria. Adapun fungsi bait al-ma>l masih tetap seperti sebelumnya. Pada masa ini tidak ada perubahan
yang berarti.[47]
Dari kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Ali, menurut kami
sebagai pemakalah, kebijakan yang dilakukan beliau jika kita melihat dari segi
pengeluaran harta negara maka kebijakan tersebut sama seperti kebijakan yang
dilakukan atau dijalankan pada masa Khalifah Umar. Akan tetapi jika kita
melihat dari segi dana cadangan negara, maka kebijakan yang dijalankan beliau
berbeda dengan kebijakan Umar. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Khalifah Ali menggunakan
seluruh dana negara untuk kepentingan masyarakat. Dengan kata lain beliau tidak
mengalokasikan dana tersebut untuk cadangan negara, akan tetapi seluruhnya
untuk kemaslahatan umat di masa pemerintahan beliau.
c.
Masa
Khilafah Bani Umayyah
Ketika dunia Islam
berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi bait al-ma>l berubah. Jika pada
masa sebelumnya bait al-ma>l dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat
rakyat, pada masa pemerintahan Bani Umayyah bait
al-ma>l berada sepenuhnya di
bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.[48]
Keadaan tersebut
berlangsung sampai datangnya khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul
Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan bait al-ma>l dari pemasukan harta
yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak
menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para amir (setingkat gubernur)
agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang
tidak sah.[49]
Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dengan tegas memutus rantai penyimpangan pendapatan dan
distribusi keuangan negara oleh aparatur negara bahkan yang masih ada pertalian
darah dengannya atau dengan kata lain masih keturunan Bani Umayyah. Beliau
memulai kehidupannya sebagai pemimpin dengan membersihkan harta pribadinya dari
barang-barang haram dan syubhat serta menyerahkannya ke bait al-ma>l. Kemudian memulai
hidup sederhana bagi ukuran seorang pemimpin dengan wilayah yang luas. Dalam
bidang keuangan, Umar melakukan pembenahan dan pengelolaan keuangan negara secara
total, yaitu dengan menghapuskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada
era pemerintahan khalifah sebelumnya, baik dari pengelolaan pemasukan dan
pengeluaran maupun pembenahan administrasi negara secara adil dan transparan.[50]
Khalifah Umar bin
Abdul Azis mewarisi pengelolaan keuangan yang telah jauh menyeleweng dari hukum
Islam, yang dilakukan oleh para pendahulunya. Sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan pendapatan dan pengeluaran negara. Ketidakseimbangan yang
terjadi kemudian berimbas pada ketidakmerataan distribusi pendapatan negara,
seperti tidak meratanya pembangunan antarkota dan melebarnya kesenjangan antara
kondisi rakyat dan pejabat pemerintahan. Dengan alasan tersebut, Umar memandang
bahwa pembenahan secara lebih mendasar merupakan pilihan utama yang tidak dapat
dihindari. Maka beliau memerintahkan seseorang untuk mencari jurisprudensi milik
kakeknya Umar bin Khattab kemudian menjadikannya sebagai dasar awal
kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang tentu dengan ada beberapa perubahan
sesuai kebutuhan pada zaman itu.[51]
Untuk menghindari
kecurangan dan penyimpangan jabatan dikarenakan gaji yang tidak mencukupi, Umar
membuat kebijakan dengan menaikkan gaji para pejabat. Bahkan, karena gaji yang
tinggi dianggap lebih dan cukup maka ia melarang para pejabat untuk berdagang
atau mempunyai aktifitas lain yang akan mengganggu konsentrasi mereka dalam
menjalankan roda pemerintahan.[52]
Dari kebijakan pada
masa Bani Umayyah, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan Khalifah Umar bin
Abdul Azis mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Itu artinya kebijakan tersebut sama rincinya atau sama bagusnya dengan
kebijakan tersebut. Walaupun beliau mewarisi pengelolaan keuangan yang
menyeleweng dari hukum Islam, akan tetapi beliau langsung merubahnya dan
menanamkan beberapa kebijakan yang ditujukan kepada para pejabat negara demi
tercapainya tujuan pemerintah yaitu untuk mensejahterakan rakyat.
d. Masa
Khilafah Bani Abbasiyyah (132-656 H/750-1258 M)
Di era Dinasti
Abbasiyah di Baghdad, khalifah membangun Perpustakaan Al-Hikmah,
sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi, seperti Nizhomiyah. Baghdad kala itu
sudah menjadi kota metropolitan. Pada saat yang sama, Barat masih gelap gulita. [53]
Ketika pemerintahan
dikuasai Khalifah Harun Ar-Rasyid, pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat
dan kemakmuran Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya.
Pendapatan negara dikeluarkan
berdasarkan kebutuhan dan dialokasikan untuk riset ilmiah dan penterjemahan
buku-buku Yunani, di samping untuk biaya pertahanan dan anggaran rutin pegawai.[54]
Pada masa Harun
Ar-Rasyid ada beberapa kebijakan yang ditanamkan beliau pada masa
kepemimpinannya, di antaranya adalah:[55]
1) Meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berbasis pada keadilan dan
maslahah
2) Mengklasifikasikan secara umum penerimaan negara pada 3 kategori utama, yaitu;
ganimah, usyr dan kharaj yang pemungutannya memiliki
aturan-aturan tersendiri.
Dari kebijakan pada
masa Bani Abbasiyah, menurut kami sebagai pemakalah, kebijakan Khalifah Harun
Ar-Rasyid yang berdasarkan pada keadilan dan maslahah telah sesuai dengan
tujuan negara dan harapan masyarakat baik yang dulu maupun sampai masyarakat
yang sekarang.
3.
Analisis Kebijakan Pengeluaran Negara di Masa Kontemporer
Di masa Rasulullah SAW kebijakan
anggaran sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Hal ini
sebagian karena telah berubahnya keadaan sosioekonomik secara fundamental, dan
sebagian lagi karena negara Islam yang didirikan dan dilaksanakan oleh
Rasulullah SAW.[56]
Negara yang menganut demokrasi,
biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum. Tiap tahun, fakta
anggaran belanja negara yang menganut demokrasi tersebut adalah bahwa anggaran
belanjanya dinyatakan melalui peraturan yang disebut dengan peraturan anggaran
belanja negara sekian tahunan. Kemudian ditetapkan sebagai peraturan setelah
dibahas dengan parlemen.[57]
Anggaran
modern merupakan suatu campuran rumit antara rencana dan proyek yang harus
dilaksanakan di masa depan, maupun melenyapkan kesulitan dan rintangan yang
terdapat pada jalan pertumbuhan ekonomi negara. Negara Islam modern harus
menerima konsep anggaran modern dengan perbedaan pokok dalam hal penanganan defisit
anggaran. Negara Islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak
diperlukan dan mencari jalan dengan cara untuk mencapainya, baik dengan
rasionalisasi struktur pajak baik dengan mengambil kredit dari sistem perbankan
atau luar negeri.
Oleh
karena itu, di dalam Islam tidak di mengenal pembuatan anggaran belanja negara
tahunan, sebagaimana yang terdapat dalam demokrasi, baik terkait dengan
bab-babnya, pasal-pasalnya, istilah, dan pasal tersebut. Dari sinilah maka
anggaran belanja negara Islam tidak dibuat dalam bentuk tahunan, meskipun
negara Islam mempunyai belanja negara tetap yang bab-babnya telah ditetapkan
oleh syara’ mengikuti pendapatan dan pengeluarannya. [58]
Telah
kita lihat bahwa selama masa Islam dini, penerimaan zakat dan sedekah merupakan
sumber pokok pendapatan. Jelaslah, di zaman modern, penerimaan ini tidak dapat
memenuhi persyaratan anggaran yang berorientasi pada pertumbuhan modern dalam
suatu negara Islam. Diperlukan untuk mengenakan pajak baru, terutama pada orang
yang lebih kaya demi kepentingan kemajuan dan keadilan sosial. As-Sunnah dengan
jelas menyatakan tentang hal ini: ”Selalu ada yang harus dibayar selain zakat.”
Maka Rasulullah SAW berpesan dan memerintahkan pengeluaran untuk kebajikan
masyarakat. Sabdanya: ”kekayaan harus diambil dari si kaya dan dikembalikan
kepada si miskin.”[59]
Setiap
warga negara harus menyumbangkan keuangan negara sesuai dengan kemampuannya,
yaitu sesuai dengan pendapatannya. Menurut prinsip ekonomi, biaya pemungutan
pajak tidak boleh melebihi pendapatan dari pungutan pajak itu sendiri.[60]
Terangkum
dengan jelas bahwa sistem perekonomian yang mengenai anggaran belanja, menjadi
suatu perbeadan yang mendasar mengenai sistem belanja Islam dengan modern. Islam
menitikberatkan pada masalah pelayanan terhadap urusan umat, yang telah ditetapkan
sesuai dengan apa yang menjadi pandangan agama Islam. Berbeda dengan anggaran
belanja modern lebih menekankan pada suatu campuran rumit antara rencana dan
proyek.
Kitab
suci Al-Qur’an barangkali adalah satu-satunya yang memuat firman tentang
kebijakan negara mengenai pengeluaran pendapatan negara secara cermat.
Sesungguhnya, bila kita memperhatikan jiwa administrasi keuangan Nabi SAW tidak
ada suatu kesulitan pun dalam menyimpulkan bahwa hukum Islam mengenai keuangan
negara sangat elastis sehingga dapat diperluas untuk memenuhi persyaratan
modern.
Dalam
suatu negara Islam, yang menjadi dasar anggaran tidak lagi penerimaan yang akan
menentukan jumlah yang tersedia bagi pengeluaran. Dalam negara Islam
pengeluaran yang sangat dibutuhkanlah yang akan menjadi dasar dari anggaran. [61]
Di
tahun belakangan ini, sejumlah bentuk baru anggaran telah berkembang, yang
terpenting ialah anggaran berdasarkan prestasi. Di negara Islam pada umumnya
anggaran belanja berdasarkan program dan berdasarkan prestasi hanya dapat
dilaksanakan bila terdapat sarana dan prasarana administrasi yang kuat dengan staf
akuntan terdidik, ahli ekonomi, perencana, dan tenaga ahli lainnya.[62]
Analisis
kami sebagai pemakalah tentang kebijakan pengeluaran negara di masa kontemporer
ini, walaupun disebutkan bahwa kebijakan sekarang ini dinyatakan rumit atau
susah dan sangat berbeda dengan kebijakan di masa Islam. Menurut kami, kami
tidak mempermasalahkan rumitnya kebijakan pengeluaran negara sekarang ini, akan
tetapi kami hanya mempermasalahkan begaimana sistem pengeluarannya. Maksud kami
di sini adalah bagaimana mengelola pengeluaran negara dengan baik dan benar,
yaitu mungkin kita dapat berkaca pada bagaimana sistem pengeluaran para khalifah
yang sukses dalam mengurus masalah pengeluaran negara tersebut. Salah satunya
adalah dengan mengalokasikan pengeluaran negara lebih besar digunakan untuk
masyarakat yaitu untuk mengurangi kemiskinan dan tidak selalu menghabiskan dana
untuk fasilitas-fasilitas yang lebih menguntungkan pejabat-pejabat saja.
C.
Penutup
Kebijakan pengeluaran non-zakat adalah salah satu instrumen penting
dalam kemajuan suatu negara saat ini. Akan tetapi jika hanya mengandalkan satu
instrumen ini, menurut kami sebagai pemakalah instrumen non-zakat tidak bisa
digunakan sebagai sumber pengeluaran yang digunakan untuk semua jenis pengeluaran
negara.
Berkaca pada negara kita Indonesia saat ini, karena terlalu menitikberatkan
pada penghasilan non-zakat maka dapat kita lihat dari keadaan masyarakat negara
kita yang masih banyak rendah perekonomian atau dengan kata lain dapat disebut
miskin, padahal masih ada instrumen yang dapat digunakan untuk mengulangi
masalah tersebut yaitu memperhatikan bagaimana pengelolaan zakat.
Zakat dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mengurangi kemiskinan
yang ada di Negara Indonesia ini, sedangkan pendapatan dana non-zakat dapat dikonsentrasikan
pada pembangunan infrastruktur negara ini. Dari gabungan kedua instrumen
tersebut diharapkan perekonomian Indonesia dapat meningkat dari saat ini dan
dapat mengurangi kemiskinan. Karena kita mengetahui bahwa perekonomian negara
dapat melambangkan bagaimana kemajuan negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adiwarman Azwan
Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2008, edisi ke-3.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Nurul
Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta,
Kencana, 2012.
Internet
Abdul Gafur, Kebijakan
Ekonomi di Masa Pemerintahan Khalifah Umar, http://gavouer.wordpress.com/2011/03/02/kebijakan-ekonomi-di-masa-pemerintahan-khalifah-umar-bin-khattab/
Bani Pamungkas,
Kebijakan Moneter Masa Awal Islam, http://khanaqwa.blogspot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html
Muhammad Mas’ud,
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Umayyah,http://muhammadmasud.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/10/02/sejarah-pemikiran-dan-peradaban-islam-masa-dinasti-umayyah/
Zoulkem, Kebijakan
Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/
[1] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 188.
[2] Gusfahmi, Pajak
Menurut Syariah, (Jakarta: PT Rja Grafindo Persada, 2007), h. 210.
[3] Handa S.
Abidin, Belanja Negara, http://penelitihukum.org/tag/definisi-belanja-negara/ Diakses 09
Desember 2013 Pukul 09:50 WITA.
[4] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit.,
h. 188.
[5] Ibid.,
h. 189.
[6] Retribusi yaitu
pemungutan
uang oleh pemerintah (kotapraja dan sebagainya) sebagai balas jasa. Sumber:
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006)., h. 975.
[7] Intervensi
pasar yaitu campur tangan dalam
perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara). Sumber: Ibid, h. 450.
[8] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op. cit.,
h. 189.
[9] Ibid.,
h. 189-190.
[10] Infrastruktur
yaitu prasarana atau segala sesuatu yang merupakan penunjang
terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya). Sumber:
Tim Penyusun Kamus, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasionsl, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)., h. 554.
[11] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op. cit.,
h. 191.
[12] Ibid.
[13] Ganimah
yaitu harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh melalui peperangan dan
kekerasan dengan mengerahkan pasukan, kuda-kuda dan unta peperangan yang
memunculkan rasa takut dalam hati kaum musyrikin. Sumber: Gusfahmi, Pajak
Menurut Syariah., op.cit., h.86.
[14] Fai
yaitu menegembalikan sesuatu, dalam terminologi hukum, fai menunjukkan
seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa peperangan. Sumber: Ibid., h. 118.
[15] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit.,
h. 191.
[16] Ibid.,
h. 192-193.
[17] Kharaj yaitu
pajak atas tanah atau hasil tanah. Sumber: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah,
op.cit., h. 126.
[18] Jizyah
yaitu beban (pajak) yang diambil dari penduduk non-muslim. Sumber: Ibid.,
h. 119.
[19] Ushr
yaitu sepersepuluh. Ini merupakan pajak atas hasil pertanian. Sumber: Ibid.,
h. 113.
[20] Khums
yaitu seperlima dari harta kekayaan yang dimiliki. Sumber: Adiwarman Azwan
Karim, Sejarah Pemikran
Ekonomi Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2008), edisi ke 3., h. 126.
[21] Gusfahmi, Pajak
Menurut Syariah, op.cit., h. 66.
[22] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit.,
h. 193-194.
[23] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 80.000 dirham = Rp 62.667 X 80.000 = Rp 5.013.360.000.
Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[24] 1 dirham = Rp
62.667. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[25] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit.,
h. 194-195.
[26] Ibid.,
h. 195.
[27] Ibid.,
h. 196.
[28] Ibid.,
h. 197.
[29] Diwan yaitu sebuah kantor yang
ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiunan dan
tunjangan-tunjangan lainnya. Sumber: Abdul Gafur, Kebijakan Ekonomi di Masa
Pemerintahan Khalifah Umar, http://gavouer.wordpress.com/2011/03/02/kebijakan-ekonomi-di-masa-pemerintahan-khalifah-umar-bin-khattab/ Diakses 11 Desember 2013 pukul 16:58 WITA.
[31] Ibid.
[32] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 12.000 dirham = Rp 62.667 X 12.000 = Rp 752.004.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[33] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 10.000 dirham = Rp 62.667 X 10.000 = Rp 626.670.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[34] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 5.000 dirham = Rp 62.667 X 5.000 = Rp 313.335.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[35] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 4.000 dirham = Rp 62.667 X 4.000 = Rp 250.668.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[36] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 3.000 dirham = Rp 62.667 X
3.000 = Rp 188.001.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[37] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 2.000 dirham = Rp 62.667
X 2.000 = Rp 125.334.000. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[38] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 800 dirham = Rp 62.667 X 800 = Rp 50.133.600. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[39] Jika 1 dinar =
Rp 1.973.148, maka 25 dinar = Rp
1.973.148 X 25 = Rp 49.328.700. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[40] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka2 00 dirham = Rp 62.667 X 200 = Rp 12.533.400. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[41] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 300 dirham = Rp 62.667 X 300 = Rp 18.800.100. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[42] Jika 1 dirham
= Rp 62.667, maka 100 dirham = Rp 62.667 X 100 = Rp 6.266.700. Sumber: http://geraidinar.com/. Diakses 11 Desember 2013 Pukul 13:50 WITA.
[45] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit.,
h. 207.
[46] Ibid.,
h. 209.
[47] Ibid.
[48] Zoulkem, Kebijakan
Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/. Diakses 09 Desember 2013 Pukul 15:28
WITA.
[49] Ibid.
[50] Muhammad Mas’ud, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam Masa Dinasti Umayyah, http://muhammadmasud.staff.stainsalatiga.ac.id/2013/10/02/sejarah-pemikiran-dan-peradaban-islam-masa-dinasti-umayyah/. Diakses 09 Desember 2013 Pukul 10:30 WITA.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Zoulkem, Kebijakan Fiskal dan Moneter Pertengahan Islam, http://zoulkem.wordpress.com/2010/01/14/kebijakan-fiskal-dan-moneter-pertengahan-islam/., loc-cit.
[54] Bani
Pamungkas, Kebijakan Moneter Masa Awal Islam, http://khanaqwa.blogspot.com/2011/06/kebijakan-moneter-fiskal-masa-awal.html. Diakses 10 Desember 2013 Pukul 14:00 WITA.
[55] Ibid.
[56] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, op.cit.,
h. 209.
[57] Nurul Huda,
dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit.,
h. 209.
[58] Ibid.,
h.210.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid.,
h. 211.
[62] Ibid.